Jumat, 07 Januari 2011

AGAMA DAN MASYARAKAT

FUNGSI AGAMA
FUNGSI AGAMA DALAM MASYARAKAT
Untuk mendiskusikan fungsi agama dalam masyarakat ada tiga aspek penting yang selalu dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek tersebut merupakan kompleks fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga timbul pertanyaan, sejauh mana fungsi lembaga agama dalam memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan sebagai suatu sistem, dan sejauh manakah agama dalam mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan itu timbul sebab, sejak dulu sampai saat ini, agama itu masih ada dan mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Teori fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial yang dominan dalam terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama, dan termasuk konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga sosial yang menjawab kebutuhan mendasar yang dapat dipenuhi kebutuhan nilai-nilai duniawi. Tetapi tidak menguntik hakikat apa yang ada di luar atau referensi transendental (istilah Talcott Parsons).
Aksioma teori fungsional agama adalah segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya, karena agama sejak dulu sampai saat ini masih ada, mempunyai fungsi, dan bahkan memerankan sejumlah fungsi. Teori fungsionalis agama juga memandang kebutuhan “sesuatu yang mentransendensikan pengalaman” (referensi transendental) sebagai dasar dari karakteristik dasar eksistensi manusia meliputi : Pertama, manusia hidup dalam kondisi ketidakpastian; hal penting bagi keamanan dan kesejahteraan manusia berada di luar jangkauannya. Kedua, kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya terbatas, dan pada titik dasar tertentu kondisi manusia dalam kaitan konflik antara keinginan dengan lingkungan ditandai oleh ketidak berdayaan. Ketiga, manusia harus hidup bermasyarakat, di mana ada alokasi yang teratur dari berbagai fungsi, fasilitas, dan ganjaran. Ini mencakup pembagian kerja dan produk. Dalam hal ini tentu masyarakat diharuskan berada dalam kondisi imperatif, yakni ini ada suatu tingkat superordinasi dan subordinasi dalam hubungan manusia. Kelangkaan ini menimbulkan perbedaan distribusi barang dan nilai, dengan demikian menimbulkan deprivasi relatif.
Jadi, seorang fungsionalis memandang agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengatasi diri dari ketidak pastisan, ketidak berdayaan, dan kelangkaan; dan agama dipandang sebagai mekanisme penyuasaian yang paling dasar terhadap unsur- unsur tersebut.
Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai, bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka normanya pun dikukuhkan dengan sanksi-sanksi sakral. Dalam setiap masyarakat sanksi sakral mempunyai kekuatan memaksa istimewa, karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi dan supramanusiawi dan ukhrowi.
Fungsi agama di bidang sosial adalah fungsi penentuan, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik di anatara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka.
Fungsi agama sebagai sosialisasi individu ialah individu, pada saat dia tumbuh menjadi dewasa, memerlukan suatu sistem nilai sebagai semacam tuntunan umum untuk (mengarahkan) aktivitasnya dalam masyarakat. Orang tua di mana pun tidak mengabaikan upaya “moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan tersebut harus beribadat dengan kontinyu dan teratur, membaca kitab suci dan berdoa secara sederhana, menahan diri dari tingkah laku yang tidak jujur, tidak berbuat yang tidak senonoh dan mengacau, tidaklah berdansa, tidak minum-minuman keras, dan tidak berjudi. Maka perkembangan sosialnya terarah secara pasti serta konsisten dengan suara hatinya.

DIMENSI KOMITMEN AGAMA
Masalah fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah pada komitmen agama. Dimensi komitmen agama, menurut Roland Robertson (1984), diklasifikasikan berupa keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi.
a. Dimensi keyakinan mengandung perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran agama.
b. Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata. Ini menyangkut, pertama, ritual, yaitu berkaitan dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, dan perbuatan mulia. Kedua, berbakti tidak bersifat formal dan tidak bersifat publik serta relatif spontan.
c. Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan, meskipun singkat, dengan suatu perantara yang supernatural.
d. Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan, bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi tentang ajaran –ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e. Dimensi konsekuensi dari komitmen religus berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.





PELEMBAGAAN AGAMA
3 TIPE KAITAN AGAMA DENGAN MASYARAKAT
Dimensi keyakinan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan dapat diterima sebagai dalil atau dasar analitis, namun hubungan-hubungan antara keempatnya tidak dapat diungkapkan tanpa data empiris.
Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan sebenarnya secara utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1954).
a. Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-Nilai Sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakat menganut agama yang sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya :
1. Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat secara mutlak.
2. Dalam keadaan lembaga lain selain keluarga relatif belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagai pengintergrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini nilai-nilai agama sering menigkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan.

b. Masyarakat-Masyarakat Praindustri yang Sedang Berkembang
Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkebmangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat ini, tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sakral dan yang sekular itu sedikit banyaknya masih dapat dibedakan. Fase-fase kehidupan sosial diisi dengan upacara-upacara tertentu. Di lain pihak, agama tidak memberikan dukungan sempurna terhadap aktivitas sehari-hari; agama hanya memberikan dukungan terhadap adat-istiadat, dan terkadang merupakan suatu sistem tingkah laku tandingan terhadap sistem yang telah disahkan. Nilai-nilai keagaaman dalam masyarakat menempatkan fokus utamanya pada pengintegrasian kaitan agama dengan masyarakat. Tugas ini tidak mudah sebab agama lebih tahan terhadap kajian ilmiah dibandingkan dengan adat dan kebiasaan. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu pandangan yang emosional dan fikiran yang bias (rational bias).
Kebiasaan pandangan emosional ini akibat agama dengan segala sifatnya melibatkan nilai-nilai dasar yang menyebabkan agama itu hampir tidak mungkin dipandang dengan sikap yang netral. Pengamat biasanya sampai pada kesimpulan, bahwa agama bersifat mengetahui pikiran dan terbelakang, atau menyimpulkan agama bagi penganutnya terbaik dan tertinggi. Bila pengamat tadi menguraikannya secara ilmiah, maka ia akan memperlihatkan pandangan yang sifatnya menyalahkan atau membenarkan.
PELEMBAGAAN AGAMA
Agama begitu universal, permanen (langgeng), dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, akan sukar memahami masyarakat. Hal yang perlu dijawab dalam memahami lembaga agama adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan terbentuknya serta fungsi dan struktur agama.
Pengalaman tokoh agama dan juga merupakan pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan keagamaan, yang kemudian menjadi organisasi keagamaan terlembaga. Pengunduran diri atau kematian figur kharismatik, akan melahirkan krisis kesinambungan. Analisis yang perlu adalah mencoba memasukkan struktur dan pengalaman agama, sebab pengalaman agama, apabila dibicarakan, akan terbatas pada orang yang mengalaminya. Hal penting adalah mempelajari “wahyu” atau kitab sucinya, sebab lembaga keagaman itu sendiri merupakan refleksi dari pengalaman ajaran wahyunya.
Lembaga-lembaga keagamaan pada puncaknya berupa peribadatan, pola ide- ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil pula sebagai asosiasi atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan munculnya organisasi keagamaan.
Organisasi keagamaan yang tumbuh secara khusus semula dari pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri organisasi, kemudian menjadi organisasi keagamaan yang terlembaga. Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial Islam yang penting, dipelopori oleh pribadi Kiai Haji Ahmad Dahlan yang menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dari Tafsir Al-Manar, ayat suci Al-Quran telah memberi inspirasi kepada Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah. Salah satu mottonya ialah, bahwa Muhammadiyah dipandang sebagai “segolongan dari kaum” mengajak kepada kebaikan, mencegah perbuatan jahat (amar ma’ruf nahi’anil munkar). Organisasi agama ini tidak lepas dari tokoh kharismatik Dahlan (di Indonesia) dan Abduh yamg memikat Dahlan, terutama dalam praktek lahiriah dan pembaharuan pemikiran (ijtihad) menyangkut masalah fundamental masyarakat dan umat Islam. Demikian pula Nadlatul Utalama (NU), yang artinya “kebangkiatan ulama”, menekankan keterikatan pada mazhab Sjafii, dan mengimbagi golongan pembaharu. Semula organisasi ini tidak mempunyai anggaran dasar (tahun 1926), baru setelah tahun 1927 organisasi ini dirumuskan. Kegiatannya, selain tertib beragama, juga memperbaiki kehidupan sosial masyarakat.
Dari contoh sosial, lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide, ketentuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadah), dan tingkat organisasi.
Tampilnya organisasi agama adalah akibat adanya “perubahan batin” atau kedalaman beragama, mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan, dan sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagi corak organisasi keagamaan.



AGAMA, KONFLIK, DAN MASYARAKAT
Di beberapa wilayah, integritas masyarakat masih tertata dengan kokoh. Kerjasama dan toleransi antar agama terjalin dengan baik, didasarkan kepada rasa solidaritas, persaudaraan, kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan. Namun hal ini hanya sebagian kecil saja karena pada kenyataannya masih banyak terjadi konflik yang disebabkan berbagai faktor yang kemudian menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalahan konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Agama menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya disintegrasi. Marx mengatakan bahwa analisis konflik menggarisbawahi peran agama dalam menciptakan ketidaksetaraan dalam masyarakat. Namun, sesuai dengan ketentuan hak asasi, agama adalah sebuah kebebasan bagi pemeluknya untuk menentukan keyakinan dan kepercayaannya. Berbicara mengenai HAM, berarti membicarakan hal yang terkait dengan kebutuhan biologis (sandang, papan, pangan) dan juga terpenuhinya kebutuhan mental spiritual (rohani), yaitu kepercayaan atau agama.
Agama terkait dengan keyakinan, yang mana keyakinan ini sangat dijunjung tinggi dan dijaga oleh penganutnya. Seseorang dijadikan pemeluk agama yang sama dengan orang tuanya sejak lahir. Sosialisasi terhadap agama mencakup nilai-nilai, aturan, tata cara, upacara/ritual dan sebagainya yang harus dituruti. Dalam kelompok agama tersebut, kesucian agama dipegang oleh suatu kekuasaan otoritas yang dimiliki oleh pemuka-pemuka agama (ulama atau paus), yang terkadang perkataan (fatwa) dari para pemuka agama ini tidak terbantahkan dan diikuti oleh semua penganutnya. Selain itu adanya perkawinan antara agama dengan negara sehingga agama memiliki kekuasaan yang besar (contohnya pada negara-negara yang memiliki agama mayoritas, seperti Indonesia. Atau daerah yang memiliki agama mayoritas, seperti Islam di Aceh, atau Kristen di Papua).
Penanaman tentang agama ini dimulai sejak lahir dan anak-anak, melalui jalur sistem pendidikan nasional. Norma dan aturan agama tersebut sudah menjadi hal yang lumrah dalam pola pikr masyarakat umumnya. Hal inilah kemudian yang dapat memicu konflik apabila sedikit saja ada gerakan yang menentang arus dari norma dan aturan-aturan tersebut. Konflik ini kemudian mengarah kepada tindakan kekerasan kepada kelompok-kelompok tertentu yang dianggap menyimpang atau melanggar norma agama yang telah berlaku di suatu masyarakat. Hal itu bisa kita lihat contoh pada kasus pengusiran warga terhadap tokoh aliran Salafi di Lombok Barat, pada tanggal 12 Mei 2008, disebabkan perbedaan pandangan atau praktik keagamaan.
Selain itu bisa kita lihat contoh pada beberapa kasus lain seperti pentingnya agama dalam menentukan siapa berhak memilih siapa dalam jabatan publik, yang mana hal ini mengakibatkan ketegangan antar kelompok keagamaan. Seperti yang terjadi di Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar), Sumatera Barat, puluhan aktivis organisasi Islam menolak rencana pengangkatan Viktor, S.H sebagai ketua Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Pasaman Barat, disebabkan perbedaan agama. Menurut mereka, di negeri Minangkabau yang mayoritas berpenduduk muslim tidak sepatutnya memiliki seorang pemimpin yang beragama Kristen. Contoh lain adalah kasus Rudolf M. Pardede, mantan Gubernur Sumatera Utara, yang sempat menyerukan masyarakat untuk memilih calon gubernur yang seiman (Kristen).
Politisasi agama di dalam Pemilu juga menjadi salah satu faktor timbulnya konflik. Banyak kaum elite yang menggunakan agama untuk mendukung kepentingan mereka, atau dengan agama pemerintah dapat menentukan kebijakan. Akan tetapi penggunaan dasar agama ini tentu hanya berdasar pada satu agama tertentu saja (mayoritas) yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial. Contohnya MUI di empat propinsi di Kalimantan merekomendasikan bahwa Golput adalah tindakan yang dilarang agama. Meskipun kekritisan umat dan pemimpin agama cukup tinggi dalam hal politisasi agama, namun usaha-usaha ke arah politisasi agama masih terus terjadi.
Dari contoh-contoh di atas, kita dapat melihat implikasi dari teori konflik Marx yang menyatakan bahwa agama menjadi kekuatan kaum elite politik atau kelompok-kelompok tertentu untuk mempertahankan pengaruhnya (kekuasaannya) sehingga akan terjadi konflik karena kaum minoritas akan melakukan brontak untuk merebut kekuasaan (sesuai dengan teori dialektis).

0 komentar:

Posting Komentar