BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Keadaan sosial di Indonesia masih menjadi masalah utama dalam pemerintahan Indonesia, seperti kemiskinan ataupun kelaparan. Tak hanya itu, masalah yang terjadi secara alami pun menjadi penyebab keadaan sosial yang buruk, sebut saja bencana alam yang sering terjadi seperti halnya banjir, tanah longsor, atau pun tsunami. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh ulah tangan manusia yang tidak dapat melestarikan alam.
Pemberdayaan masyarakat miskin/kurang mampu tidak dapat dilakukan dengan hanya melalui program peningkatan produksi, tetapi juga pada upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat miskin. Terkait dengan upaya tersebut, maka keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menjadi sangat penting untuk melakukan sinergi dengan lembaga pemerintah. Dalam proses pendampingan pemberdayaan masyarakat miskin, LSM masih menghadapi kendala baik eksternal maupun internal. Peran LSM di Indonesia mengalami perkembangan dan transformasi fungsi, sesuai dengan paradigma pembangunan. Kondisi dan paradigma yang ada saat ini adalah terbukanya era globalisasi ekonomi yg diwujudkan dengan adanya proses internasional produksi, perdagangan, dan pasar uang.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan organisasi jasa sukarelawan untuk membantu sesama dalam mengurangi masalah sosial seperti kemiskinan. Organisasi jasa sukarelawan ini termasuk ke dalam organisasi nirlaba atau organisasi non profit. Apa itu organisasi nirlaba atau organisasi non profit?. Organisasi nirlaba atau organisasi non profit adalah suatu organisasi yang bersasaran pokok untuk mendukung suatu isu atau perihal di dalam menarik perhatian publik untuk suatu tujuan yang tidak komersil, tanpa ada perhatian terhadap hal-hal yang bersifat mencari laba (moneter).
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas salah satu bagian dari organisasi nirlaba atau organisasi non profit, yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Organisasi LSM ini dapat membantu pemerintah untuk mengurangi masalah sosial yang ada di Indonesia dengan visi dan misi LSM tersebut yang dapat mendidik kita sebagai manusia untuk memiliki rasa tolong-menolong dan solidaritas antar sesama manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Teori
Menurut Prof. Dr. Emil Salim, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga mantan Menteri Lingkungan Hidup, organisasi nirlaba memainkan peranan penting dalam mengubah perilaku dan pandangan masyarakat. Ada beberapa faktor yang menyebabkannya, antara lain :
- Trust terhadap pemerintah dan pengusaha menurun karena nasib rakyat kerap kali terabaikan;
- Pembangunan terasa timpang karena lebih berat kepada pertimbangan ekonomi dibandingkan dengan kesetaraan sosial dan lingkungan hidup;
- Teknologi informasi menumbuhkan daya kritis dan hubungan jejaring antarkelompok madani.
Menurut PSAK No. 45 bahwa organisasi nirlaba memperoleh sumber daya dari sumbangan para anggota dan para penyumbang lain yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari organisasi tersebut. (IAI, 2004: 45.1)
Pada era orde baru, strategi pembangunan LSM di Indonesia menurut David Korten (1987) dikelompokkan menjadi 3 generasi, yaitu generasi bantuan dan kesejahteraan, generasi keswadayaan dalam skala lokal, dan generasi pembangunan yang berkelanjutan. Strategi pembangunan yang dikembangkan oleh LSM ini tidak terlepas dari kebijakan LSM internasional yang juga mendukung program yang bersifat karikatif.
Pada pasal 19 UU No. 4 tahun 1982 disebutkan : “Lembaga Swadaya Masyarakat berperan sebagai penunjang bagi pengelolaan Lingkungan Hidup”.
Dalam sejarah Barat, partisipasi timbul dari bawah, di kalangan masyarakat yang gelisah. Gejala itulah yang dilihat oleh Alexis de Tocqueville pada tahun 30-an abad ke-19, yakni timbulnya perkumpulan dan perhimpunan sukarela (voluntary association). Perkumpulan dan asosiasi iutlah yang kemudian menjadi “sokoguru masyarakat” (civil society). Dan apa yang disebut oleh Tocqueville itu tak lain adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang dalam masyarakat Barat ini disebut sebagai Non Goverment Organisation (ORNOP, Organisasi Non Pemerintah) dan perkumpulan sukarela (voluntary association).
2.2 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
LSM adalah sebuah organisasi yang didirikan pereorngan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa bertunjuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatan tersebut. Jenis dan kategroi LSM, yakni Organisasi Donor, Organisasi Mitra Pemerintah, Organisasi Profesional, serta Organisasi Oposisi.
LSM sebagai suatu organisasi, khususnya organisasi non laba / non profit, sebenarnya tidak berbeda jauh dengan ormas, koperasi partai, bahkan dengan perusahaan. Sebagai suatu organisasi maka apa yang diharapkan adalah mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Untuk mencapai tujuannya tersebut maka organisasi perlu dikelola dengan baik.
Perjalanan LSM di Indonesia pada awal kemunculannya melalui perspektif sejarah dan mengacu pada pembagian generasi, ada yang berpendapat bahwa cikal-bakal LSM di Indonesia telah ada sejak pra-kemerdekaan. Lahir dalam bentuk lembaga keagamaan yang sifatnya sosial/amal. LSM di Indonesia dalam praktiknya juga masih terkungkung dalam wacana pembagunanisme (developmentalisme) yang tidak kritis terhadap masalah-masalah ketimpangan struktural, kelangkaan partisipasi, dan ketergantungan terhadap kekuatan diluar.
Tahun 50-an tercatat muncul LSM yang kegiatannya bersifat alternatif terhadap program pemerintah, dua pelopornya adalah LSD (Lembaga Sosial Desa) dan Perkumpulan Keluarga Kesejahteraan Sosial. Tahun 60-an lahir beberapa lembaga yang bergerak terutama dalam pengembangan pedesaan. Pada kurun waktu ini pula, lembaga-lembaga ini merintis jaringan kerjasama nasional, misal lahir Yayasan Sosial Tani Membangun yang kemudian berkembang menjadi Bina Desa, Bina Swadaya.
Dalam hal peranannya sebagai organisasi yang mempunyai peran non-politik, LSM dinilai mampu melakukan pemberdayaan kepada masyarakat dalam hal penanggulangan kemiskinan. Beberapa LSM tahun 70-an yang terus senantiasa aktif melakukan pendampingan dan pemberdayaan terhadap masyarakat lemah / miskin adalah YLBHI, INFID, LP3ES, WALHI, JPPR, YTBI, dan lain-lain.
Permasalahan utama yang sangat mendasar dalam hal pemberdayaan masyarakat oleh LSM adalah stigma LSM yang tumbuh disebagian benak masyarakat yang masih menaruh curiga terhadap kehadiran dan aktivitas dari LSM. Pada satu sisi LSM dipersepsikan alat bagi neo liberalisme atau agen Negara Asing, hal ini dikarenakan sebagian besar dana kegiatan-kegiatan yang dilakukan LSM di Indonesia di danai oleh negara asing dan tentunya ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh NGO untuk memperoleh dana tersebut. Disisi lain, sampai saat ini tidak ada mekanisme pertanggungjawaban LSM terhadap masyarakat.
Dalam penjelasannya, LSM mencakup antara lain :
1. Kelompok profesi yang berdasarkan profesinya tergerak menangani masalah lingkungan.
2. Kelompok hobi yang mencintai kehidupan alam terdorong untuk melestarikannya.
3. Kelompok minat yang berminat untuk membuat sesuatu bagi pengembangan lingkungan hidup.
Batasan fungsi dan peran LSM dibandingkan dengan pengertian aslinya (dalam arti NGO) menjadi teredusir. Karena keberadaan LSM terutama saat ORBA sarat dengan intervensi pemerintah, maka ada beberapa LSM yang kemudian dalam pergerakannya memakai bentuk Yayasan, karena Yayasan lebih fleksibel.
Sampai saat ini, peran pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat masih terbatas dan belum mampu sepenuhnya dalam penanggulangan kemiskinan. Disinilah perlunya peran dan keterlibatan LSM dalam melaksanakan program dan pemberdayaan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pula reposisi LSM di tengah masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat dalam bentuk :
1. LSM perlu memfasislitasi tumbuh kembangnya kelembagaan rakyat yang kuat, yang bersifat sektoral, seperti pada organisasi buruh, petani, masyarakat adat, dan lain-lain.
2. LSM perlu tampil ke publik luas, dalam arti semakin “go public” ke masyarakat, sehingga posisi dan perannya mampu lebih dirasakan oleh masyarakat. Ini bisa dilakukan melalui penyebaran brosur, pertemuan dengan masyarakat,kerja sama dengan media cetak-elektronik seluas-luasnya.
3. LSM perlu semakin aktif dalam membangun hubungan dengan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya. Seperti media massa, mahasiswa, serikat buruh, petani, partai politik dengan tetap mengedepankan nilai dan sikap non-partisan.
4. Perlunya penguatan LSM sebagai sebuah entitas dan komunitas yang spesifik di dalam masyarakat sipil, dan penguatan institusionalisasi LSM dalam hal eksistensi, sumber daya manusia, sarana, dana, dan manajemen. LSM juga perlu lebih membuka diri untuk menjadi organisasi yang lebih berakar di masyarakat.
5. LSM juga dituntut untuk senantiasa membenahi kondisi internal dalam tubuh. Organisasinya, mengingat ini seringkali tidak diperlihatkan dalam forum evaluasi oleh LSM yang bersangkutan.
Untuk masa mendatang, hubungan antara LSM dengan kelembagaan lokal perlu dieratkan karena lembaga di tingkat lokal adalah kekuatan yang potensial bagi LSM sebagai organisasi yang indenpenden.
Dari refleksi yang dilakukan oleh LSM di Philipina (IIRR,1997) ada beberapa alasan mengapa kinerja atau kualitas organisasi menjadi penting, yaitu karena :
1. Kemampuan berkompetisi atau bersaing dengan LSM lain semakin besar sebagai akibat semakin mengecilnya jumlah dana dan lembaga donor serta sumberdaya-sumberdaya lain,
2. Kemampuan mengadaptasi perubahan lingkungan yang cepat dengan tanpa kehilangan relevansi atau indentitas masing-masing organisasi,
3. Meningkatnya kualitas program dan pelayanan yang lebih berfokus, berdampak dan juga luas atau besar.
Apa yang direfleksikan oleh LSM di Philipina tersebut sebenarnya sama dengan yang dialami oleh LSM-LSM di Indonesia.
Kepemimpinan yang efektif mendorong keterlibatan dan partisipasi dari anggota, staf, serta konstituen LSM dalam seluruh kegiatan LSM untuk menjamin kesuksesan dan keberlanjutan (keberlangsungan) program dan organisasi. Anggota dan konstituen LSM perlu bekerjasama dengan eksekutif dan pengurus yayasan dalam menentukan dan membuat VISI organisasi, mengidentifikasi MISI yang akan dipilih untuk mencapai visi serta menentukan sasaran yang obyektif dan realitis.
Sumber daya manusia mempunyai arti semua orang yang terlibat dalam kerja LSM, yaitu eksekutif, staff, anggota, volunteer, konstituen, donor, dan pengurus yayasan. LSM perlu memberi insentif yang bervariasi untuk penghargaan yang sesuai dengan motivasi kerjanya dan juga siap memberi sanksi. Setiap LSM mempunyai budaya. Budaya ini dimunculkan dalam bagaimana bekerja, berpikir, serta berperasaan untuk mencapai misi dan respon (tanggapan) terhadap situasi yang mempengaruhi tujuan, program, dan pelaksanaannya.
Sistem dan prosedur keuangan harus terintegrasi dengan rencana strategis dan rencana operasional dari suatu LSM, dan harus juga sesuai dengan kebutuhan donor, serta konstituen. Suatu LSM perlu memiliki sumberdaya keuangan yang bervariasi. Telah tumbuh kesadaran dalam LSM untuk memiliki donor yang bervariasi, mengembangkan alternatif sumberdaya dalam komunitas mereka (misalnya bantuan dalam bentuk barang dan pembayaran untuk layanan yang diberikan), dan membangun kerjasama dengan perusahaan.
Indikator paling kuat untuk menilai efektivitas dan kesuksesan dari suatu LSM adalah kualitas layanan mereka, yaitu layanan yang sesuai diberikan dalam suatu pembiayaan yang selalu efisien. Dalam membangun hubungan kerjasama yang positif dalam konteks yang lebih besar, LSM harus dikenal oleh pihak-pihak yang tepat di dalam suatu masyarakat, menjaga kinerjanya, serta memperluas pengaruhnya melalui kerjasama dengan pemerintah, jaringan donor, dan LSM lain yang bekerja dalam sektor dan wilayah yang sama.
BAB III
DAFTAR PUSTAKA